
SCCR, Semarang – Perkembangan terapi sel punca (stem cell) di Indonesia memasuki fase penting: riset semakin intensif, praktik klinis mulai terstruktur.
Momentum ini tersorot jelas pada simposium yang digelar bersama oleh Stem Cell and Cancer Research (SCCR) dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Semarang.
Pertemuan tersebut menjadi ajang diskusi ilmuwan, regulator, dan pelaku klinis untuk menyelaraskan langkah hilirisasi riset menuju aplikasi medis yang aman dan dapat diakses masyarakat.
Aspek regulasi dan sertifikasi menjadi kunci keselamatan pasien. Ketua Komite Sel Punca Indonesia Prof. dr. Amin Soebandrio, Ph.D, Sp.MK menekankan bahwa hanya produk dan layanan yang dihasilkan oleh laboratorium tersertifikasi serta dilaksanakan di fasilitas berizin yang layak digunakan.
Di Indonesia sejauh ini hanya sebagian kecil laboratorium yang telah memperoleh sertifikasi dari Kementerian Kesehatan dan Badan POM; kondisi ini justru menandai perlunya edukasi publik agar tidak tergiur layanan komersial yang belum tervalidasi secara ilmiah.
Pengawasan ketat ini bertujuan melindungi pasien dari praktik berisiko dan memastikan bahwa terapi diberikan sesuai indikasi medis.
Sementara itu, dr. Supriyanto Dharmoredjo, Sp.B, FINACS, M.Kes selaku Direktur Utama RSCM menegaskan bahwa RSCM ditetapkan sebagai rumah sakit pengampu nasional untuk terapi sel punca, dan bahwa kolaborasi dengan SCCR serta institusi riset harus memastikan standar pelayanan, produksi dan keamanan terpenuhi sebelum diterapkan ke publik.
Pada pertemuan ini juga dibahas bahwa saat ini biaya terapi sel punca di Indonesia masih relatif tinggi karena dosis dan kebutuhan sel yang disesuaikan dengan berat badan pasien; beberapa perkiraan menyebut kisaran biaya yang signifikan untuk terapi tertentu.
Upaya hilirisasi dan domestikasi teknologi diharapkan mampu menurunkan harga seiring peningkatan kapasitas produksi, skala ekonomi, dan inovasi produk langkah yang juga menjadi bagian dari visi hilirisasi riset nasional.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Agung Putra M.Si.Med contoh konkret hilirisasi: upaya pendaftaran produk berbasis stem cell ke Badan POM, seperti gel penyembuh luka berbasis sel, menunjukkan arah transformasi riset menjadi produk konsumen yang lebih terjangkau.
Inisiatif semacam ini memperlihatkan bahwa riset tidak hanya berfokus pada terapi berbiaya tinggi, melainkan pula pada produk yang bisa diaplikasikan luas dan memberi manfaat publik apabila lolos uji keamanan dan efektivitas.
Agar fondasi ini kuat dan berkelanjutan, beberapa langkah prioritas perlu dijalankan:
- Percepatan penyusunan pedoman praktik klinis nasional yang jelas dan berbasis bukti, agar standar pelayanan seragam di seluruh fasilitas.
- Peningkatan kapasitas laboratorium tersertifikasi melalui pelatihan, kolaborasi internasional, dan investasi infrastruktur demi memastikan produksi yang aman dan konsisten.
- Program edukasi publik untuk meningkatkan literasi pasien tentang apa itu stem cell, indikasi yang benar, dan risiko jika berobat ke layanan yang belum terverifikasi.
- Dukungan hilirisasi (regulator, pendanaan, kemitraan industri) agar hasil riset dapat menjadi produk terdaftar yang terjangkau bagi masyarakat luas.
Penutup: membangun fondasi terapi regeneratif bukan tugas satu organisasi. Ini proyek ekosistem gabungan riset, pendidikan, regulasi, dan layanan klinis yang memerlukan komitmen berkelanjutan dari SCCR, RSCM, pemerintah, dan komunitas ilmiah.
Dengan langkah yang disiplin dan transparan, Indonesia berpeluang menjadikan teknologi sel sebagai solusi medis yang aman, efektif, dan akhirnya dapat dinikmati oleh lebih banyak masyarakat.
Untuk sccr.id, narasi ini bukan hanya soal prestise ilmiah; ini tentang menghubungkan inovasi dengan keselamatan pasien dan aksesibilitas publik tujuan akhir setiap riset kesehatan yang bertanggung jawab.





